20210624

Sunnatullah bersifat multikulturisme

Cuplikan Pengajian TWU di PH AA/3 Jaksel 17 Maret 2006

"MultiKulturisme"

Apakah kita menyadari bahwa Sunnatullah tidak bersifat budaya tunggal, Islam saja, Kristen saja, Yahudi saja, Hindu saja atau Khonghucu saja ? Tetapi semuanya itu, Sunnatullah bersifat multikulturisme. Dunia tidak terbentuk oleh budaya tunggal, melainkan terbentuk oleh keanekaragaman budaya.

Demikian pula Bangsa Indonesia, tidak hanya terbentuk oleh budaya Jawa Islam saja atau Sunda saja atau Kristen Batak saja, melainkan terbentuk oleh keanekaragaman budaya itu. 3000 tahun yang lalu Daud a.s. telah sukses membentuk negeri multikultur Yerusalem dimana Bani Israil dan Bani Yebus berdampingan secara damai dengan kesadaran multicultur citizen. Bentuk negara multkulturisme itu semakin sempurna pada zaman Sulaiman dimana semua agama dan budaya mendapatkan toleransi, dan semua kelompok minoritas mendapatkan afirmatif dari pemerintah. Nah, dapatkah kita memberikan afirmatif kepada Ahmadiyah, Kristen, Hindu, Buddha, Khonghucu dll ? Kalau jawabannya ya, maka kita berada di jalur Rahmatan lil Alamien dimana agama merupakan sumber emansipasi dan kemajuan peradaban. Perhatikan sabda Rasulullah saw: “Qoola man laa yarhamu, laa yarhamu” : “Siapa yang tidak mengasihi tidak akan dikasihi” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah r.a.; H : 1696).

Tapi kalau jawabannya tidak, kita membenarkan tuduhan kalangan freemasonry yang menganggap agama sebagai hambatan terbesar mental manusia, oleh karena itu freemasonry berpendapat agama-agama harus dihilangkan perannya dari peradaban manusia. Perlu diketahui bahwa 95 % atau lebih Al-Qur’an berisi tentang peradaban dan hanya 5 % atau kurang, berisi tentang peribadatan.

 

Benturan peradaban.

 

Sumber utama konflik di dunia baru dewasa ini ternyata bukanlah kepentingan ekonomi, melainkan budaya yang menjadi factor pemecah belah umat manusia dan sumber konflik yang dominan, seperti ditunjukkan dalam pertikaian antara Barat/Amerika Serikat vs Islam. Meskipun negara-bangsa masih merupakan aktor yang dominan dalam percaturan dunia, namun konflik utama dari politik global terjadi diantara negara dan kelompok dari peradaban yang berbeda.

Garis batas peradaban Barat dengan Islam telah membentuk garis konflik sejak dari Maghribi hingga Pakistan, dengan hot-spot Palestina, Iran, Irak, Syria, Libya hingga Afganistan dan Pakistan. Meningkatnya pengaruh kaum radikal Islam di Pakistan dan Indonesia adalah dampak dari benturan peradaban Barat vs Islam ditingkat global. Demikian pula timbulnya semangat anti Kristen dan anti Ahmadiyah dikalangan Umat Islam tertentu di Indonesia. Garis batas peradaban tersebut setiap saat dapat menjelma menjadi garis petempuran.

Apakah konflik antara peradaban Barat vs Islam tsb harus dicegah atau harus dilalui untuk menjadi bagian dari proses tahap akhir evolusi konflik dan perubahan di dunia modern ? Barat sendiri setelah berhasil mengalahkan Angkatan Perang Irak yang merupakan kekuatan militer terbesar di Arab, agaknya tidak ragu-ragu dalam melancarkan tekanan terhadap dunia Arab dan Islam yang sudah tentu akan melahirkan perlawanan secara simultan yang dapat dengan cepat mengobarkan perang dalam skala dunia.

Suatu kenyataan dengan berakhirnya Perang Dingin, politik internasional bergerak keluar dari fase Barat, dan titik fokusnya beralih ke interaksi antara peradaban Barat dan non-Barat, khususnya Islam. Bentuknya menjadi semakin tajam setelah serangan 11 September 2001, yang sekaligus menghamparkan suatu babak baru dalam sejarah Amerika Serikat, dunia dan hubungan diantara mereka. Tiba-tiba semuanya berubah sama sekali. Perang baru antara Israel dengan Jihad Islam adalah sinyal kemungkinan berkobarnya perang antara Barat vs Islam. Medan perang yang mungkin berkobar adalah Teluk Parsi dan Palestina yang bila terjadi akan melibatkan sentimen peradaban secara luas dalam skala Perang Dunia. Ini berarti rencana Albert Pike berhasil dan prediksi Samuel P Huntington tentang perang peradaban sebagai model Perang Dunia ke III bakal terbukti.

Satu-satunya jalan menuju keselamatan bersama, ialah kesadaran tentang Sunnatullah yang bersifat multikulturisme. Jika semua pihak menyadari bahwa dunia harus terbentuk oleh keanekaragaman budaya, agar saling mengasihi sebagaimana sabda Rasulullah saw tadi, maka sesungguhnya tidak ada kebutuhan berperang atas nama keunggulan budaya dan peradaban masing-masing atau atas nama proses evolusi perubahan dunia modern sekalipun. Demikian pula di Indonesia, jika kita menyadari bahwa negara bangsa ini tidak mungkin dibentuk hanya oleh budaya tunggal, melainkan oleh keanekaragaman budaya, maka prinsip multicultur citizen menjadi keniscayaan yang hakiki, dan kekuatan yang terpenting dan terbesar bangsa kita.

Siapakah yang akan memenangkan Perang Peradaban jika itu terjadi ? Pemenangnya adalah peradaban yang lebih unggul. Menurut Huntington peradaban Barat lebih unggul daripada peradaban Islam. Tetapi jika Kaum Muslimin ternyata memilih dialog, mengembangkan sikap moderat, menghormati multikulturisme, bersikap liberal-humanis, maka Islam akan memimpin perdamaian dan memimpin peradaban dunia baru. Kita mulai dari Indonesia, insya Allah.

Sekian, kita lanjutkan Jum’at depan,
Terima kasih,

Birrahmatillahi Wabi’aunihi fi Sabilih,
Wassalamu’alaikum War. Wab.

Jakarta, 17 Maret 2006,
Pengasuh,

 


 

K.H. AGUS MIFTACH
Ketua Umum Front Persatuan Nasional.


 

Konflik Palestina vs Israel

 


Cuplikan Pengajian TWU PH AA/3 Jaksel 21 juli 2006

 Konflik Palestina vs Israel

Akar dari konflik Israel-Palestina yang sesungguhnya merupakan persoalan internal kaum Semit yang memiliki tradisi perang dan kekerasan sebagai bahasa-peradaban. Dalam bahasa Samuel P Huntington, ini disebut deklinisme dimana bangsa-bangsa terjebak dalam cengkeraman sejarahnya secara-deterministik 

Trauma-sejarah.
Dalam sejarah tidak ada solusi final. Selama makhluk manusia ada, tidak ada jalan keluar dari trauma-trauma sejarah. Huntington mengatakan,’Sumber utama konflik di dunia baru bukanlah ideology atau ekonomi, melainkan budaya yang menjadi factor pemecah belah umat manusia dan sumber konflik yang dominan (1993).

Dalil-dalil ini menjelaskan betapa dalamnya akar konflik Israel-Palestina/Arab yang bahkan tak terpecahkan selama 3000 th. The Global Illuminati-Freemasonry, organisasi paganisme modern yang diantara pilarnya adalah Judaisme, bahkan menjadikan trauma sejarah itu sebagai landasan taktis-nya untuk mencapai tujuan ideologis “Novus Ordo Seclorum” seperti tercermin dalam surat tokoh Freemasonry Amerika Serikat Albert Pike kepada Guiseppe Mazzini tgl. 15 Agustus 1871 yang menjelaskan rencananya untuk mewujudkan Perang Dunia Ketiga pada awal abad 21, yang akan diawali dari perang Israel-Palestina yang akan didorong diperluas kearah Parang Israel-Arab, dan akhirnya Perang Barat melawan Islam yang berkembang menjadi Perang Dunia.

Pemimpin Kadima-Israel Ehud Olmert dan pemimpin Hamas-Palestina Ismail Haniya adalah pelaku-pelaku konflik yang efektif. Apakah mereka agen-agen Freenasonry ? Kini peperangan tak hanya di bumi Palestina, tetapi meluas ke Lebanan dengan jumlah korban yang semakin provokatif. Hingga Minggu 16/7 dipihak Lebanon 148 orang meninggal akibat gempuran Israel, sementara dipihak Israel 25 orang tewas (15 orang sipil) akibat serangan kelompok Hezbollah.

Walaupun hipotesa Huntington tentang ‘perang peradaban’ (clash of civilization) dibantah oleh Fouad Ajami dari John Hopkin University (vide, Peng.99-100), tetapi dalam kasus Israel-Arab pernyataan Huntington yang menegaskan, bahwa ‘garis pemisah antara peradaban akan menjelma menjadi garis pertempuran’, terbukti benar. Namun kebenaran ini memang sudah terhampar nyata di dunia selama 3000 th lebih. Tidak ada yang baru dalam hal ini.

MJ. Akbar seorang penulis Muslim India mengungkapkan, bahwa interaksi antara peradaban Barat dan Islam dikedua sisi dipandang sebagai benturan peradaban. “Konfrontasi Barat berikutnya” dapat dipastikan datang dari dunia Muslim. Akbar mengungkapkan adanya perjuangan dikalangan bangsa-bangsa Islam mulai dari Maghribi hingga Pakistan yang menginginkan tatanan dunia baru berdasarkan idealisme Islam. Ini mendasari konflik peradaban yang bersifat ideologis-fundamentalis yang lebih kuat dan lebih berakar daripada ideologi politik. Pola seperti itu pula yang menjadi frame of reference Huntington.

Kalau mengikuti Hipotesa Huntington dan rencana Pike, pecahnya konflik bersenjata Israel-Palestina/Arab yang terbaru ini akan segera membelah dunia dalam garis batas peradaban Barat yang pro Israel dan Islam yang pro Palestina. Tetapi kalau kita menimba pikiran Fouad Ajami, belum tentu demikian. Karena sesungguhnya semua nilai peradaban telah bergeser oleh modernisasi Barat. Bagi Huntington dan Saddam Husein perang Teluk adalah perang peradaban Barat melawan Islam. Tetapi sesungguhnya tidak demikian. Frame-work yang sebenarnya dari perang itu dipandang oleh negara-negara Arab dari perspektif pragmatik perimbangan kekuatan bukan dari sudut fundamentalisme agama. Faktanya kekuatan yang berhasil dihimpun Amerika Serikat meliputi Saudi Arabia, Turki, Mesir, Suriah, Perancis, Inggris dan para petualang lainnya. Pragmatisme seperti itu juga akan terjadi dalam sessi perang Israel-Palestina sekarang ini.

Sebagai Negara Kebangsaan, RI harus tetap mendukung perjuangan kemerdekaan bangsa Palestina, tetapi kita tahu pasti bahwa itu bukan perang agama.
Sekian, terima kasih, kita lanjutkan pengajian berikutnya.


Birrahmatillahi Wabi’aunihi fi Sabilih,
Wassalamu’alaikum War. Wab.
Jakarta, 21 Juli 2006,

 



Pengasuh,
KH. AGUS MIFTACH
Ketua Umum Front Persatuan Nasional